Gindah Mustanirrah
Jangan sadarin mereka….
Kalimat itu meluncur dari seorang sahabat, akhir-akhir ini memang kami sering pakai kata ‘jangan sadarin’, maklumlah korban Chio,(sssst……gak tau ya?? Itu tuh ikhwan yang suka buka rahasia orang, termasuk para jilbaber. Kalo kamu mau kenal lebih dalam, segera hubungi aku, maksudnya aku punya buku serinya). Ketika bête dengan dosen karena gak mau juga terima bahwa solusi atas kemiskinan masyarakat adalah karena kapitalisme yang diterapkan, kalimat ‘jangan sadarin’ keluar dengan mudah, ketika melihat dua orang manusia berbeda jenis berasyik masyuk didepan kampus padahal udah dibilang jangan suka deket-dekatan ntar mesum, tapi mereka ogah ngedengerin, kami juga berkata ‘jangan sadarin’. Ketika menonton para elit politisi negri ini saling tuding menuding terkait kasus Century, kami juga geleng-geleng sambil barkata ‘jangan sadarin’.
‘jangan sadarin’ aku persepsi sebagai sebuah kata yang berarti tidak perlu disadarkan lagi. Artinya, jangan lagi menyadarkan orang, karena sudah terlalu bebal atau kacau. Kata yang menunjukkan betapa ‘kerasnya’ orang yang hendak disadarkan. Tak bisa dipungkiri bahwa menyadarkan orang bukanlah hal yang mudah. Penuh pengorbanan., bahkan air mata. Saat orang yang ingin disadarkan itu terlelap dalam mimpinya, kita justru tak bisa tidur memikirkannya. Bagaimana cara agar ia bisa menerima kebenaran, membangun kesadaran, serta ikut menjadi bagian yang terinternalisasi dalam kebenaran tersebut.
Panas terik, hujan badai (ahh…lebay….) dilalui hanya demi sampai ke kost-kostsan dia untuk mendiskusikan kebenaran, tapi hasilnya?? Dia tak merespon sedikitpun bahkan mengantuk dengan ocehan-ocehan kita(yang lebih parah, kita tak diizinkannya masuk, jadilah kita basah-basahan diteras rumahnya…duh…kasiannya nasibmu kawan). Hari berikutnya tak menyerah. berikan sms-sms motivasi. Tanyakan kabarnya, berikan doa untuknya. Kemudian, masakkan kue kesukaannya, telepon, dan tanyakan apakah ia perlu bantuan. Selanjutnya, ia mulai bersimpati. Ia kemudian meminta kita menemaninya ketoko buku, jalan-jalan ke mal, shopping dsb. Ya…demi menyadarkan dia, akhirnya menemaninya. Kemudian ia menceritakan permasalahan hidupnya. Akhirnya berikan ia solusi, dan kita pun berfikir, ‘jika ia sudah menjadikan kita teman curhatnya, ini berarti ia menaruh kepercayaan pada kita, ini adalah awal yang baik dalam rangka menyadarkan dia’.
Waktu berselang, semakin dekat dengannya, Mulai mengajaknya ikut dalam kajian-kajian, seminar-seminar, daurah bahkan Aksi. Awalnya ia mengikuti dengan ‘rela’, tapi lama kelamaan ia mengeluhkan sikap kita. Ia tak suka diajak ketempat-tempat itu, tak suka dilibatkan meski sebagai peserta, alasannya?? Sama seperti alasan basi kebanyakan orang, ‘belum siap’. tak menyerah, ajak ia ikut Training keislaman, meski awalnya menolak, akhirnya ia ikut juga karena kita memintanya dengan memelas.
Sesi terakhir training tersebut ialah muhasabah. setiap peserta diingatkan akan dosa-dosa yang telah dilakukan. Memandangnya dari kejauhan, tampak ia menangis termehek-mehek(sorry…pake istilah ini, biar kesannya dramatis gitu). Kita berfikir ia sadar akan dosa-dosanya, dan akan memulai hari baru dengan kebenaran, tentunya islam. Setelah acara selesai, ia memeluk hangat (yang ini buat sesak napasku kambuh, kuat banget seh…), and gak terasa butiran-butiran halus menganak sungai dipipi(ciele…). bahagia, ia mulai menyadari….
Dua minggu tanpa bertemu. Karena liburan semester, ia mudik kekampung halamannya. berkomunikasi hanya melalui telepon atau sms. 3 hari berlalu ia masih membalas sms dan menerima telepon kita. Selanjutnya??? Ia tak lagi menjawab telepon apalagi membalas sms. Dihari ketujuh, nomornya tak aktif lagi.
Sesampainya dari mudik, main ke kost nya. Ingin tahu bagaimana keadaannya. Menanyakan kabar keluarga dan bagaimana liburannya. Alih-alih menyambut keramahan kita, ia justru ketus berkata ‘tak ada oleh-oleh’. What???? Alis mengeriyit, bingung. Karena justru tak terfikir tentang itu. Berusaha bersikap biasa, dan menjelaskan bahwa bukan itu yang diingini, tapi ia justru meminta kita tak mengganggunya. Prasangka baik, mungkin ia masih lelah karena perjalanan jauh.
Hari berikutnya bertemu dia di kampus, dari kejauhan senyum terkembang kita berikan. Wajahnya datar seperti meja pak dosen yang sering kenal pukul itu. hampiri dan berikan buku bagus yang baru kita baca. Tapi ia menolak dengan alasan ‘tak sempat membaca’. Kita ceritakan dengan singkat isi buku itu tapi ia justru memasang handfree ditelinganya. Bête…..kita meninggalkannya. Dua hari kemudian kita menemuinya lagi, tapi ia justru marah dan berkata ‘jangan ganggu aku, aku tak bisa sepertimu’.
Jangan sadarin….mungkin itu kata yang pas. Maksimal sudah berusaha, namanya selalu dibawa dalam doa-doa. Tapi ternyata…..??? untung saja Allah tak pernah melihat hasil, tapi proses, jika saja Allah melihat hasil, mungkin nasibku seperti para korban bunuh diri yang lagi nge-tren itu. Ha…ha..tapi tak lah…semua ini terjadi kan karena sistem. Sistemlah yang membuat masyarakat tak lagi tersuasanakan kebenaran, sistem pula yang menyebabkan tak ada lagi ketenangan, kedamaian, apalagi kesadaran. sistem gila itu bernama Demokrasi, Sekulerisme.
Kau tak bertambah lelah setelah membaca tulisan ini kan?? Kau tak boleh lelah karena Rasullulah udah bersabda :
“andaikan matahari berada ditangan kananku, dan bulan berada ditangan kiriku, aku takkan pernah meninggalkan urusan agama ini sampai aku memenangkannya atau aku mati karenanya”.
So, jika hari ini seruanmu tak didengar, sabarlah kawan…tetaplah istiqamah. kau harus lebih bersemangat. Terus berjuang walau banyak rintangan. Untuk mereka yang tak mau di sadarin, berdoalah semoga Allah tak mengunci mati hati mereka. Keep hamasah!!! Allahu Akbar!!!
Tuk mereka yang merasa romantisnya perjuangan ini. Jika dakwah adalah pohon. Ada saja daun-daun yang berguguran, tapi pohon dakwah takkan pernah kehabisan cara untuk menumbuhkan tunas-tunas barunya, sementara daun-daun yang berguguran tak lebih hanya menjadi sampah dalam sejarah, jangan menyerah karena lelah, biarlah lelah mengejarmu sampai lelah…..
saat langit lebih sering tertutup awan,
Univ.Abdurrab Pekanbaru, akhir desember 2009
Gaul Boleh, Ngawur Jangan
-
gaulislam edisi 891/tahun ke-18 (16 Jumadil Awal 1446 H/ 18 November 2024)
Ya, bergaul sih boleh-boleh aja, Bro! Tapi inget ya, jangan sampe jadi
“gaul nga...
4 hari yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar