Oleh –chio-Penulis buku seri ‘jangan sadarin’
Uah, jangan buru-buru protes dulu. Simpan bentar protesnya. Baru baca judulnya aja, kan? Apalagi baca isinya ntar, hehe... Jangan tiru orang kebanyakan yang sekadar ngeliat sesuatu dari kulitnya aja. Lihatlah lebih dalam kawan. Seperti milih buahan. Kamu mesti mau kalau dikasi makan durian, padahal kalau cuma dilihat dari luar aja, durian itu nggak ada menarik-menariknya, kecuali buat ngelempar para mafia di Senayan yang lagi tidur biar bangun. Sialnya kalau mereka bangun, mereka cuman pandainya ngasilin UUD dengan kepanjangan Ujung-Ujungnya Duit. Benar-benar nggak menarik, masalahnya yang disedotnya duit kita! Halus banget nyedotnya, pakai peraturan. Tinggal kita yang lemas terengah-engah keabisan darah.
Dulu ketika aku SMA, anak-anak perempuan bakalan risih kalau guru agama mulai nyebut-nyebut soal jilbab, saat itu dibilang jilbab, yang sekarang bagiku bukan jilbab tapi kerudung. Merasa disindir secara telak. Meskipun mereka merasa mempunyai alasan sakti: belum dapat hidayah alias belum dapat petunjuk untuk mengenakannya. Alasan yang nggak logis sebenarnya, karena ketika menjelaskan tentang jilbab yang kerudung itu, guru agama akan mengutip ayat Al-Qur’an. Dan itulah petunjuk nyatanya. Aneh kalau begitu mendengar petunjuk malah bilang belum mendapatkannya! Seperti orang yang dberi makanan tapi masih aja bilang belum dapat makanan.
Untung aja kerudung akhirnya jadi mode yang tren lagi. Katanya mode itu kan seperti siklus. Para pebisnis lihai banget ngeliat peluang ini. Maka nggak peduli tahu apa itu jilbab, bagaimana itu kerudung, ramai-ramai mereka memasok barang ke pasar. Menuhin kebutuhan pasar katanya. Belum lagi mode juga penuh modifikasi. Hasil kreasinya jadi macam-macam, dan banyak nggak mutunya karena nggak dilandasin sama pemahaman mereka tentang apa yang mereka buat. Maka banyaklah para perempuan yang berkerudung bertebaran di jalan. Bagus sih. Tapi mesti beda lah antara seorang yang sekadar mengkonsumsi barang jualan sama yang memang paham apa yang akan dibelinya itu.
Kerudunger. Ini aku peruntukkan buat semua cewek yang sekadar memakai kerudung kecil, mirip lap tangan dan sering kali bahannya rada tembus pandang gitu. Apalagi yang sekedar menggunakannya ketika ada wilayah kampus, ngikutin peraturan kampus ceritanya. Aneh memang, peraturan dari lembaga yang kecil gitu aja diturutin. Eh, giliirannya peraturan dari Sang Pembuat dunia malah nggak dipelajari, nggak dipatuhin. Memang manusia itu makhluk yang aneh.
Kerudunger mengenakan kerudung bukan karena sadar untuk melakukan perintah agama, tapi mengenakan itu sebagai bagian dari sebuah mode pakaian yang lagi ngetren. Kebanyakan dari mereka beragama tanpa tahu apa yang diwariskannaya dari orang tua itu kok. Apalagi kalau dapat orang tua yang juga nggak kenal baik sama warisannya itu, mana bisa menjelaskan ke anaknya. Malah manjaiin dan membuai anaknya ke alam mimpi dengan segala kesenangan berlandaskan uang. Itu untuk yang kaya kasusnya. Kalau miskin, terbentur dengan akses ekonominya. Tersita waktu untuk mempertahankan nafas, dan ini penguasa mesti bertanggung jawab besar. Dan lingkungan sekeliling juga mesti ditanyain. Kerudunger itu seringkali hanya mengikuti apa yang banyak dikenakan oleh orang di seklilingnya. Sekedar alat untuk diterima di suatu lingkungan. Sekedar alat untuk tidak terlihat terlalu berbeda dengan sekitanya. Mengenakan tanpa tahu maksud dan makna dibalik apa yang dikenakannya itu. Dan parahnya lagi kalau abis baca ini masih aja dengan bego’nya nggak mau mencari tahu lebih lanjut lagi kesalahan dia. Keburu mati, tahu rasa! Nyahok!
Kelakuannya masih sebelas dua belas lah sama cewek-cewek biasa kebanyakan. Cewek yang nggak berjilbab, kerudung aja nggak, ya, non?! Tempat main favoritnya etalase raksasa, alias mall. Becandaan sering kelewatan sama lawan jenis. Boncengan naik motor, sama abang kandung sih oke-oke aja, tapi kayaknya nggak mungkin kan meluknya mesra gitu kalau sama saudara kandung?
Apalagi kerudung juga jadi sering kali menjadi topeng para cewek-cewek rendahaan yang berkerudung sekadarnya. Dugem jangan tanya deh. Liat aja ktm yang ada di klub-klub malam. Mesti kamu bakalan aneh banyak yang di kampusnya memakai kerudung, tapi hadir disana dengan seksinya.
Pacaran gaya tingkat tinggi, pulang kemalaman terus dijadikan alasan buat tidur di kostan cowok mah nggak.....nggak jarang maksudnya. Paduan kerudungnya adalah jeans ketat, pakaian lengan panjang tapi ketat. Baju ngepas di badan. Kamu bisa liat aku punya lekuk tubuh, gitu prinsipnya.
Udah lah kita mesti berprasangka baiklah ke dia.
Iya, dia belum tahu agamanya sendiri. ngerti kerudung aja sebagai mode bukan perintah dari yang nyiptain dia. Jangan berharap banyak dia bakalan ngerti gimana seharusnya dia berpakaian. Kalau kamu mau jadiin dia pasangan hidup, selamat, berarti siap-siap susah aja lah. Karena bego’ sama bego’ jadi bego’ kuadrat. Kamu nggak merasa bego’? Trus ngapain milih dia jadi dia penghuni rumah? Hayo...
Meskipun ada juga kerudunger yang baik secara perilaku moralnya. Tapi ya.. itu tadi, nggak bisa jaga diri untuk nggak hanyut. Baik secar moral tanpa ada landsaan yang jelas dan kuat secara pemikiran.
Jilbaber. Kalau di SMA ini seringkali identik dengan anak rohis. Ekstra kurikuler kerohanian Islam. Di kampus juga masih banyak kok. Kerudungnya udah lumayan. Sikap mereka pun biasanya mulai belajar jaga jarak terhadap lawan jenis. Sayangnya meraka masih nggak tertarik buat cari pemahaman yang lebih tinggi, atau belum dapat aja kali ya? Atmosfir sma belum kuat dan mendukung untuk itu sih. Kecuali yang memang niatnya kuat. Jilbaber hampir mirip sama akhwat sih. Udah tahu yang dikenakannya itu perintah dari Sang Penciptanya. Hanya saja belum lengkap, itu aja masalahnya. Kelakuan sih udah agak mendingan lah, meskipun masih agak longgar sama lawan jenis, tapi udah menjaga. Kok jadi muter-muter gini sih. Bingung. Kadang masih berani adu mata kalau bicara. Masih nggak risih becandaan sama lawan jenis. Belum nyadar kalau setiap geriknya menjadi sebuah memori yang sulit terhapus dari memori para laki-laki. Kadang masih senang sms-an nggak terlalu penting. Masih lengah dengan istilah sahabat, terus bisa dekat dan main seenaknya tanpa alasan yang jelas ke rumah atau kost-an. Nggak risih duduk dempetan. Emang sesama jilbaber nggak boleh? Ya sama laki-laki lah! Jangan lugu-lugu bego’ gitu donk. Intinya, kadang masih gampang dipatahkan benteng pertahanannya yang istilah kerennya hijab.
Akhwat. Ini sebutan yang berat dan menjadi benteng tersendiri bagi anak-anak organisasi keIslaman, di kampus terutama. Mereka memakai kerudung yang rada besaran. Tapi ingat kawan, gimana pun besarnya kerudung itu, tetap aja namanya kerudung bukan jilbab. Aktif di organisasi keIslaman salah satu ciri-cirinya. Akhwat, seakan ini istilah tertinggi buat para perempuan yang memeluk Islam sebagai agamanya di negeri ini. Seringkali pakaian mereka juga agak terlalu modis di lingkungan luar menurutku, entah karena itu bahannya bagus, atau emang dianya yang pandai dandan dan padu padan. Jadinya menarik perhatian dengan keindahan gaya berpakaiannya. Nggak sadar kadang. Sayang ya itu bukan untuk suaminya aja. Dengan tampilan visual yang menarik ini mereka bakalan memancing para ikhwan untuk gampang menyukainya, jujur aja, manusia lebih gampang mengingat lewat visualnya kan? Ah...akhwat itu manis benar tampilannya. Serasi antara jilbab (kerudung)nya dengan paduannya. Warnanya enak dipandang. Halah. Untung aja cukup banyak yang mengenakan jaket organisasi, seringkali berwarna hitam, sebagai lapisan terluarnya. Alangkah lebih baiknya mereka seperti ini. Mereka bebas untuk bergaya, tapi nggak mencolok yang terlalu memikat. Karena bukan berarti akhwat itu nggak boleh dandan. Itu mah fitrahnya sebagai perempuan. Bukan berarti mesti berpenampilan kumuh dan nggak rapi jika keluar lingkungan. Hanya saja jika tampilan yang terbaik sudah dia pamerkan di luar, di rumah mau seperti apa lagi? Mending biasa aja di luaran, dirumah baru keren, buat yang udah punya suami nih khususnya. Sederhana ajalah di luaran (luar rumah). Oiya, ciri satu lagi, jarang nggak bawa tas. Maklum, aktivis itu kegiatannya padat.
Secara bahasa akhwat itu artinya saudara perempuan. Jadi siapapun, asalkan perempuan, sebenarnya bisa dikategorikan akhwat secara bahasa, sesuai dengan lingkungannya sendiri. Tapi di Indonesia kata tersebut menjadi keren dan rada berwibawa karena bahasa Arab itu dilekatkan ke perempuan yang pemahaman tentang Islamnya cukup bagus. Mengalami penyempitan makna. Dimulai ketika revolusi pengenaan jilbab (kerudung) oleh para perempuan di saat negeri ini masih dikurung tirani yang melarang pengenaan atribut Perintah Sang Pencipta tersebut di sekolah-sekolah terutama, dan instansi pemerintahan. Keberanian mereka untuk berontak ini lah yang membuat kata-kata itu menjadi terasa berwibawa. Meskipun yang mereka kenakan baru lah kerudung. Semangat keberanian untuk melawan kekuasaan tiran itu lah yang berharga mahal.
Nah, terakhir aku mau nyebutin muslimah itu seperti apa, dalam sedalam pemahaman yang aku pahami dari informasi yang aku terima selama ini. Salah satu cirinya yang paling gampang dikenali itu mereka memakai jilbab. Jilbab disini diartikan pakaian panjang yang terjulur dari leher sampai mata kaki tanpa terputus. Mirip daster gitu lah gampangannya. Aku nggak sembarangan ngartiin nih, emang siapa aku berani ngartiin? Ini menurut orang yang ngerti bahasa dan budaya Arab. Menjaga pandangan, nggak sering berkomunikasi ke lawan jenis kecuali yang penting-penting, urusan organisasi dan ekonomi biasanya. Ingat, bukan menting-mentingin.
Gini, kalau kamu mau tahu bagaimana baju kurung, maka tanyalah pada orang Minang atau Melayu. Mereka pakaian adatnya baju kurung. Meskipun untuk saat ini lebih baik ditanyain langsung ke para orangtua, karena yang mudanya telah terhampar jarak yang lumayan jauh antara diri mereka dengan budayanya sendiri. menurutku pribadi nuansa baju adat kedua suku tersebut dipengaruhi oleh pemahaman mereka akan agama yang dianutnya. Agama merupakan sebuah suntikan yang memberi pengaruh kuat bagi penganutnya untuk mengembangkan kebudayaan dengan mengikuti hukum yang berlaku pada agama. Pertumbuhan yang terpantau dan mempunyai aturan. Nah kalau mau tahu jilbab, tanyakan pada orang Arab, karena merekalah yang pertama dikasi inspirasi oleh Sang Pencipta untuk mengenakannya. Merekalah yang paham bagaimana seluk beluk tentang jillbab. Bukankah kita jika mempelajari sesuatu paling bagus itu sama ahlinya?
Ada dua ayat dari buku panduan kehidupan, Al-Qur’an mengenai jilbab dan kerudung. Sayangnya cuma satu yang sering digunakan yaitu An-Nur ayat 31. Dan yang sering kelupaan untuk dijelaskan, Al-Ahzab ayat 59. Di sana ada perbedaan antara yang diartikan kerudung dengan jilbab. Dari kata yang digunakannya aja udah beda lho. Karena bahsa arab itu bisa menjelaskan secar spsifik apa yang dimaksud dan yang menjadi titik penekanan mana yang epnting. Untuk lebih jelasnya, tanyain ke yang lebih berkompeten lah. Orang berilmu yang nggak mengatakan apa yang disukai pendengarnya aja, tapi apa yang mesti didengar oleh orang yang mencari jawaban tersebut. Orang breilmu yang punya nyali. Punya keberanian yang terasah dengan merasakan gesekan-gesekan dikehidupan nyata.
Sebenarnya nggak ada beda antara mereka semua. Sama-sama manusia. Perempuan. Sama-sama pemeluk agama Islam. Sama-sama masuk dalam do’a setiap pemeluk Islam setelah shalatnya, mungkin. Tidak juga bermaksud mengkotak-kotakkan, meskipun akan terasa seperti itu. Hanya saja dengan keadaan sekarang, di mana semuanya berusaha dikaburkan maknanya, dihilangkan esensinya, maka diperlukan penegasan bahwa sesuatu itu berbeda. Sesuatu itu tidak sama meski serupa. Seperti halnya warna abu-abu. Ketika dimasukkan ke gerombolan warna hitam, dia akan terlihat cerah. Tapi begitu disatu kelompokkan dengan warna putih, kelihatan gelap lah dia. Nah, kamu muslimah bukan? Jangan asal ngaku aja deh. Kalau akhwat aja belum tentu muslimah, apalagi kerudunger! Berproses lah menuju satu titik kematian. Proses yang menjadi nilai bagi kita. Dan titik kematian yang menghentikan itu semua.
Gaul Boleh, Ngawur Jangan
-
gaulislam edisi 891/tahun ke-18 (16 Jumadil Awal 1446 H/ 18 November 2024)
Ya, bergaul sih boleh-boleh aja, Bro! Tapi inget ya, jangan sampe jadi
“gaul nga...
4 hari yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar