Oleh : Deni Aslem, MEI (Dosen Ekonomi Islam, Ma'had 'Aly Al-Badr)
“(Nuh berkata); Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar engkau mengampuni mereka, mereka memsukan anak jari mereka kedalam telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat.”(QS. Nuh : 7)
Dakwah ini adalah ajakan kepada perjalanan hidup yang penuh kewajiban dan tanggung jawab kepada penyembahan Allah. Bagaimana menyembah Allah dan bagaimana bentuk pengabdian kepada-Nya haruslah difahami sesuai yang didefenisikan al Qur’an :
“Katakanlah : sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”(QS. Al An’am : 162)
Prinsip penyembahan Allah tidak terbatas pada ritual shalat, tetapi termasuk juga keselurahan hidup dan mati. Jadi haruskah melewati kehidupan in dalam sebuah ‘Rumah Ibadah”, atau dalam sebuah rumah perenungan untuk menjalani penderitaan-penderitaan yang berat karena menjauhi seluruh kehidupan dunia, termasuk kebutuhan untuk bertahan hidup ?. Atau haruskah mengambil sikap hidup tanpa usaha dan amal agar dapat hidup stabil sebagai orang yang menyendiri ? Tidak. Manusia haruslah mewujudkan pola Ilahi dalam menjalani semua perihal kehidupannya. Apakah yang oleh manusia itu sendiri dinamakan dengan du-nia pendidikan, dunia ekonomi dan dunia politik, atau yang belum dapat mereka temukan bentuk dan istilahnya, mestilah diperuntukan bagi penyembahan Allah Pencipta kehidupan ini.
Apa reaksi mereka ?. Ternyata hanya orang beriman sejatilah yang sanggup menerima ajakan ini. Meraka berkata : “Kami dengar dan kami taat”.
Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka di panggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) diantara mereka ialah ucapan : “Kami mendengar dan kami patuh.” (QS. An Nur:51)
Mereka tahu bahwa Allah melihat apa yang mereka kerjakan. Apa yang disangkakan oleh orang-orang jahiliyah tak mengganggu mereka. Karena mereka tidak merasa berkewajiban untuk menunjukkan kepada orang lain keshalihan dirinya, mereka tidak akan mengalami tekanan batin untuk memenuhi kriteria palsu dari konsep keagamaan yang tidak berdasarkan al Qur’an.
Mereka hidup hanya untuk Allah, bekerja hanya untuk-Nya. Mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menggunakan kemampuannya dalam membuktikan kecintaan kepada Allah. Mereka shalat berdasarkan petunjuk yang jelas dari rasul-Nya. Mereka pilih dan menangkan kelompok pendidikan, ekonomi dan politik islam demi lahirnya manusia yang bertanggung-jawab kepada Allah. Mereka senantiasa membela dan membantu ummat yang lahir dari golongan tersebut. Dengan tanpa ragu mereka ceburkan diri dalam resiko dan rintangan untuk terwujudnya kehendak Ilahi di dalam ruang dan waktu-Nya (red; dunia).
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf,mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta’at pada Alaah dan Rasul-Nya.Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.” (QS. At Taubah : 71)
Namun tidak setiap orang bereaksi sebaik ini. Al Qur’an juga menyebutkan mereka yang menolak da’wah ini karena gengsi dan menganggap mu’min sebagai musuh abadi.
“Kecelakaan besarlah bagi tiap-tiap orang yang banyak berdusta lagi banyak berdosa, dia mendengar ayat-ayat Allah dibacakan kepadanya kemudian dia tetap menyombongkan diri seakan-akan dia tidak mendengarkannya. Maka beri kabar gembiralah ia dengan azab yang pedih.Dan apabila ia mengetahui barang sedikit tentang ayat-ayat kami, maka ayat-ayat itu dijadikan olok-olok. Merekalah yang memperoleh azab yang menghinakan.” (QS.Al Jatsiyah : 7-9)
Yang paling aneh adalah mereka yang bersikap ragu-ragu. Jiwa mereka megatakan apa yang benar dan buruk, tetapi di dalam dirinya ada suara yang terus menerus membujuknya untuk tidak meneninggalkan masyarakatnya yang tidak paham dengan kebenaran Islam. Mereka berusaha mensahkan prinsip ini dengan menggunakan cara mempertahankan diri. Mereka kemudian berusaha mencari-cari kesalahan pada agamanya dan orang-orang beriman, agar dapat menghibur diri dengan merasa yakin pendapatnya benar. Inilah orang munafiq.
Dimulai dengan penuh curiga dan prasangka mereka menuduh orang mu’min yang cerdas sebagai orang yang menafsirkan agama seenaknya dan mengunakan agama untuk keuntungan sendiri.
“Maka pemuka-pemuka orang yang kafir diantara kaumnya menjawab : “Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu.Dan kalau Allah menghendaki, tentu dia mengutus beberapa malaikat. Belum pernah kami mendengar (seruan yang seperti) ini pada masa nenek-nenek moyang kami yang dahulu.’ (QS. Al Mu’minun: 24)
Tiba-tiba orang yang penuh keraguan ini bersedia menjadi sukarelawan pembela pemahaman menyimpang dari masyarakat jahiliyah. Mereka keberatan dengan cara hidup orang beriman yang meninggalkan segala penyimpangan warisan nenek moyang, dan telah menggantinya dengan gaya hidup sesuai dengan al Qur’an. Mulailah mereka melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang emosional terhadap orang-orang mu’min: “ Apa yang engkau katakan itu ? Apakah engkau mengatakan bahwa yang dikerjakan semua orang itu salah dan hanya kamu yang benar ? Apakah hanya kamu yang telah memahami arti agama yang sejati ?Apakah engkau mengaku lebih bijaksana dari orang-orang beriman lain dan telah menemukan jalan kebenaran ? Seakan-akan kebenaran berpihak kepada meraka yang tetap bersama masyarakat banyak yang penuh penyimpangan.
Bagaimanapun juga, kebenaran tidak bisa diukur dari jumlah penganut (red; masyarakat) yang banyak. Bahkan sebaliknya al Qur’an menegaskan bahwa kebanyakan manusia tidak berada dijalan yang benar.
“Aliif Laam Miiim Raa.Ini adalah ayat-ayat al Kitab (al Qur’an). Dan kitab yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu adalah benar : akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman kepadanya.” (QS. al Ar Ra’d : 1)
Beberapa nabi memiliki pengikut yang cukup banyak, seperti nabi Musa as, Sulaiman as dan Nabi Muhammad SAW. Namun nabi-nabi lain hanya mempunyai sedikit pengikut bahkan tidak ada sama sekali. Mereka memenuhi tugas mereka (red; dakwah ini) dan diberi ganjaran surga tertinggi di akhirat, terlepas berapapun jumlah pengikutnya.
Orang-orang ini, juga tanpa perhitungan, memasyarakatkan ungkapan-ungkapan yang primitif : “Pendidikan Islam tidak memiliki masa depan yang jelas, Pondok pesantren hanya melahir-kan teroris-teroris, Agama harus dipisah dengan negara, Islam yes, partai islam no, Berbisnis dengan jujur adalah kampung-an,tidak berpihak kema-na-mana, netral , Allah lebih tahu siapa yang benar”. Tentu Allah tahu siapa yang benar dan siapa yang tidak, tetapi Ia telah menetapkan yang benar dalam al Qur’an adalah yang memenuhi dakwah ini.
Mereka memicingkan mata ketika sejarah menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia di pelopori oleh orang-orang pondok pesantren yang perhatian terhadap al Qur’an. Memang mereka tidak akan bisa memahami pengorbanan di dalam da’wah ini. Karena mereka menganggap semua orang sama dengan dirinya yang hanya memikirkan kepentingan pribadi dangan kesombongan yang sangat.
Jika prasangka buruk mereka ini telah dibuktikan tidak bermakna, dengan adanya masjid sebagai pusat kebenaran dan lembaga pendidikan Islam, lembaga ekonomi Islam, partai politik Islam, sebagai media pembuktian Islam sebagai rahmat bagi alam, dengan segera mereka membuat lagi perumpamaan-perumpamaan lebih jelek. Karena tujuan mereka bukan mencari kebenaran, bahkan sebaliknya adalah untuk mencari-cari kesalahan.
Inilah orang jahil, sepanjang sejarah akan tetap memakai metode yang sama.
“Sebenarnya mereka mengucapkan perkataan yang serupa dengan perkataan yang diucapkan oleh orang-orang dahulu.” (QS. Al Mu’minun : 81)
Inilah jawaban-jawaban mereka terhadap dakwah ini.
Gaul Boleh, Ngawur Jangan
-
gaulislam edisi 891/tahun ke-18 (16 Jumadil Awal 1446 H/ 18 November 2024)
Ya, bergaul sih boleh-boleh aja, Bro! Tapi inget ya, jangan sampe jadi
“gaul nga...
4 hari yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar